MH (1910-2005): Ayah, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

  • Whatsapp

 

 

Meski tanpa disematkan tanda jasa dari negara (pemerintah), bagiku ayah adalah pahlawan tanpa tanda Jasa. Ayah berjasa mengurus dan mendidik kami. Bahkan ayah, layak bergelar pahlawan atau setidaknya berjuluk veteran. Dia manusia empat zaman. Saksi sejarah dan pelaku sejarah, sejak era kolonial Belanda Jepang, Republik, hingga era Reformasi masa kini.

Ayah pernah bertutur,” di zaman Belanda, saat muda sudah menyaksikan sidang Bung Karno oleh pengadilan Belanda di Bandung.” Karena kata ayah, pada tahun 1930 bahkan tahun 1927-an sudah berkelana di kota Bandung.

Zaman Jepang ayah bersama para pemuda lainnya menghadang tentara Jepang yang mau masuk ke kota, di sepanjang jalan raya di daerah kampung kami, kaki gunung. Saat itu beberapa orang gugur. Termasuk aki Tarmedi kena tusukan bayonet Jepang di kampung Gamping, konon dia pun tidak dapat santunan dari pemerintah. Mungkin karena tidak ada yang mengurusnya.

Begitu pun di masa revolusi, ayah kami berkontribusi dalam mengamankan negeri. Menjaga rakyat di kampung, karena ayah kami kepala rukun tetangga yang membawahi  kampung yang luas saat itu, semacam tetua kampung.

Suatu hari di usia sepuhnya, aku sempat bertanya,”Kenapa tidak diurus menjadi veteran seperti orang laon?” Bukankah ketua veterannya di daerah kami pensiunan letnan perwira itu adalah teman ayah dan suami dari sodara ibu kami?”

Ayah cuma tersenyum, dan berkata,”Buat apa gelar dan tunjangan negara, toh berjuang ya berjuang di zamannya. Soal tunjangan itu pengakuan negara, tapi kan kita bisa makan dan mandiri sejak dulu hingga kini. Mendengar jawabannya, batinku, selaku anaknya bergetar.

Apakah ini namanya dan makna ketulusan berjuang. Hingga tak mau merepotkan pemerintah atau negara. Meskipun kenyataannya beliau berkontribusi dalam perjuangan. Pantesan tiap 17 Agustus, terutama saat saya kecil, ayah membawa kami upacara, pawai keliling. Dan ayah berpesan jangan lupakan jasa pejuang dan bersyukur pada Allah.

Kemerdekaan bangsa 79 lalu diperjuangkan generasi sebelumnya dengan banyak pengorbanan dengan ketulusan. Kini generasi setelahnya menikmati hasil jerih payah mereka.

Jangan terlena dan menikmati tanpa tahu diri, seolah mendapat warisan tinggal enaknya; tanpa menyadari nikmatnya hari ini ada airmata dan tetesan darah juang ayah kita, kakek kita, siapapun mereka para pejuang sebelumnya. Semstinya kita membenahi diri untuk mengisi negeri ini dengan pengabdian dengan model dan cara sesuai tantangan zamannya.

Tidak elok kalau kita mewarisi perjuangan mereka sehingga tidak membuahkan cita-cita mulia mereka yang menyatakan baru masuk ke pintu gerbang kemerdekaan di tahun 1945. Mengisi kemerdekaan harus sampai berdaulat, mandiri dalam berbagai aspek kehidupan dengan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil serta beradab sepeti tercermin dalam sila-sial pancasila yang dilandasi kesadaran bertauhid–berketuhanan yang Maha Esa–bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika tidak demikian, apalah bedanya kalau hanya take-over kekuasaan. Hanya mengambil alih kekuasaan dari penjajah atau kolonialism ketangan bangsa sendiri–lalu terjadi sifat karakter penjajah yakni berbuat sewenang-wenang atas nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah pembukaan undang-undang dasar yang ditorehkan para pendiri Republik ini menyatakan “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”.Karena itu tidak boleh ada penindasan kemanusiaan, kesewenang-wenangan.

Semoga, Rahmat Allah dan Hidayah-Nya mencurahi pikiran dan hati para pemimpin kita serta menguatkan kesadaran masyarakat Indonesia. Dan negeri Baldatun Thoyyibatun wa rabbun ghafur–negeri yang baik elok subur makmur itu dalam ampunan Tuhan karena amal-amal pengabdian bagi kemanusiaan, jadi rahmatan lil alamin.

Dirgahayu RI ke-79, 1945-2024.

 

Sumber ilustrasi:

https://kids.grid.id/read/473546652/contoh-gerakan-bawah-tanah-pada-masa-pendudukan-jepang-materi-ips-kelas-8?page=all

Pos terkait