Sajak Memaknai Kanuraga dengan Gemerlik Kecapi Suling

  • Whatsapp

SUKRON ABDILAH, lahir di Garut 22 Maret 1982. Sekarang ia aktif mengelola bincangkata.com, nubandung.id, garutan.id, kabarindah.com, nasihatku.my.id, bincangpos.com, dan sastramu.com sebagai etalase pemikiran dan gagasan. Ia adalah alumni Universitas Islam Negeri (UIN) SGD Bandung, lulus tahun 2007.

1 – Kanuraga

Tubuhku mendekap kegelapan
ruh tinggalkan cahaya kerumunan
tuk mengangkasa
temui manusia beraneka ragam

Bacaan Lainnya

Ruang pengap kamar sesaki detak jantung
hingga berhenti hanya tuk keluarkan diri
dari hari-hari yang tak bergantung

melayang aku hampir terjatuh
dari lelangitan ruh
yang tinggi dan mulai meninggi
tinggalkan kerangkeng tubuh

Dingin dan mulai tak berdaya
aku meninggalkan penjara rasa
dari jasad yang mulai terkelupas
lepas mengangkasa
dan malas kembali
temui Jasad

 

2 – Kecapi Suling

Getar senar berdawai menari meliuk-liuk
hinggapi telinga kiri-kanan.

Gerlik alun nada tulat-tulit terobosi ulu pilu qalb
yang undang bulu romaku bergidig.

Ketakutan aku setengah mati, atau malah berjingkrak-jingkrak
aku melenggok kangkung kala angin hantarkan suara kecapi suling
dari dalam gubuk rumah tua di sebelah sungai Cimanuk.

Tetabuhan dari arah Barat, aku tutupi dengan kain batik Garutan
kusumpali dengan saputangan merah jambu kelabu
pemberian nenek moyang Ki Sunda.

Seperti kecapi dan suling yang saat ini
aku tak lagi dengar dan nikmati
aku menjadi manusia Sunda yang kehilangan jati diri.

Bergeol, bergitek, dan bergoyang
bukan dengan apa yang diakarkan kepada Ki Sunda.

Malahan pada dunia yang aku pun tak kuasa
menahan rasa kantuk akibat semburan mantranya.

Tapi, kecapi suling yang dipajang di dinding rumah uwak
ingatkan aku pada pengembaraan sang nenek moyang Ki Sunda
yang upayakan melestarikan pohon-pohonan dan awi tamiang.

Dua karya bangsa itu pun — suling dan kecapi — kini teronggok
di dinding menjadi hiasan mata, tidak lagi menjadi pelipur lara
di kala aku berduka.

Dinding di rumah almarhum Uwak Elim
sekarang hanya dihiasi kecapi dan suling yang menunggu anak cucunya
memetik dan meniupnya seindah dan seasyik ma’syuk mungkin,
hingga sang uwak berpepatah-berpepitih: “jangan sampai Ki Malaya
mencurinya dari tangan kita, seperti nasib alat musik kembarannya,
angklung dari Tanah Sunda, Jawa Barat”.

Pos terkait