Di tengah susana jelang lebaran ini, sempat penulis menerima kiriman meme: “NU dan Muhammadiyah” sama merayakan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Insyaallah, 21 April Jumat merupakan hari Idul Fitri–bagi kalangan Muhammadiyah berdasarkan hisab hakikinya. Sementara penganut tafsir mutlak ruýat, akan merayakannya (kemungkinan) pada hari Sabtu nya (22/4). Artinya Muhammadiyah dan NU serta lainnya berlebaran idul Fitri sama tanggal 1 syawal–menurut keyakinan masing-masing.
Terlepas dari itu, mudik dan idul Fitri memiliki spirit yang sejatinya diresapi hikmahnya. Meskipun berbeda hari lebaran idul Fitrinya, tetap saja menjalankan mudiknya. Sama pula merindukan bertemu keluarga, sanak saudara dan sahabat serta tetangganya.
Idul Fitri tahun 2023 ini ada kejadian unik. Pertama hari Kamis, 20 April didahului dengan peristiwa besar kekuasaan Allah: Gerhana Matahari hybrid. Tanggal 21 April–bagi yang merayakannya–Idul fitri berbarengan dengan peringatan hari Kartini. Atau bersamaan dengan masa-masa H-1 mudik bagi yang beridul fitrinya hari Sabtu.
Marilah kita sejenak menenangan hati dan pikir. Sekilas merenung antara hari Kartini, Idul Fitri dan budaya mudik. Tampaknya tiga kata kunci Kartini, Idul Fitri dan mudik memiliki spirit saling berkait. Kartini yang diperingati 21 April merupakan sosok yang luarbiasa kontribusinya bagi bangsa ini. Pemikiran dan sikapnya sebagai sosok emansipatoris, penggerak gerakan emansipasi yang cukup diperhitungkan sejak akhir abad 19 dan awal abad 20.
Pertama, Kartini bagi penulis, bukan sekedar penggerak emansipasi kaum wanita. Tapi emansipatoris rakyat Jawa (Nusantara) yang terjajah kolonial Belanda. Di usia remaja 17 tahun, pikiran dan suaranya lantang mengkritik kebijakan kolonial Belanda yang membiarkan rakyat bodoh terbelakang dalam aspek pedidikan. Terlebih kaum perempuan.
Kedua, Aspek kebijakan politik ekonomi kolonial dikritisinya pula. Kartini mengkritik cara kolonial yang membiarkan rakyat rusak karena politik Candu (madat)–semacam peredaran narkoba di masa kini–sementara kolonial menikmati pundi-pundi uang emas (gulden) hasilnya yang melimpah.
Ketiga, kebijakan politik kolonial yang membiarkan rakyat petani tetap miskin khususnya di pantura (pesisir utara Jawa Tengah), mendapat kecaman kritikan Kartini.
Bayangkan, usia Kartini masih 17 tahun (usia remaja). Tapi pemikiranya luarbiasa. Jangan heran, Kartini meski dipingit justru menimba ilmu. Beraktivitas literasi menyerap buku-buku yang mencerdaskannya. Keunggulan pemikiran dan sikap Kartini ini mendobrak dan mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda.
Keempat, Kartini mengorbankan dirinya dan cita-citanya untuk studi ke Nederland. Bahkan rela dipoligami oleh suaminya yang bupati itu. Penggerak emansipasi wanita, yang dianggap gerakan feminis ini, tapi justru mau hidupnya dimadu (dipoligami). Bukan untuk menikmati kesenangan dirinya, tapi demi memuluskan cita-citanya supaya kaum wanita berdaya menerima pendidikaan layaknya kaum pria.
Kelima, Kartini berpikir progressip untuk mencerdaskan umat Muslim di Jawa (Nusantara). Sebagai santrinya KH Saleh Darat, Semarang Kartini berani “mengkritik” kyai yang juga guru ngajinya KHA Dahlan dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini. Kartini mengkritik bahwa Kyai Saleh Darat membiarkan rakyat Muslim tetap bodoh, karena membiarkannya tidak memahami Al-Qurán. Bagaimana rakyat Muslim cerdas memahami ayar-ayat al-Qurán jika kitab sucinya tidak bisa difahami karena tidak diterjemahkan?!
Kritik Kartini ini menggugah Kiai Saleh Darat. Beliau pun menerjemahkan Al-Qurán bahkan beberapa juz sudah diterjemahkannya serta dipersembahkan sebagai hadiah saat Kartini menikah. Tepatnya sampai pada kalimat “..minazzulumati ilannuur”. Dari ujung ayat yang diterjemahkan inilah kemudian dikutip oleh kalangan sastrawan Indonesia dari buku suntingan bahasa Belanda, kemudian populer dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Seolah-olah makna Habis Gelap terbitlah terang itu merujuk pada nasib perempuan yang berada dalam kegelapan kemudian beralih kepada terang benderang cahaya keilmuan (pendidikan).
Sebuah penafsiran yang benar tapi keliru, tidak tepat. Karena makna Habis Gelap terbitlah terang tersebut merujuk kepada emansipatoris bagi kaum Muslim di Jawa yang sebelumnya berada dalam kebododohan karena tak faham ayat-ayat Al-Qurán berganti kepada alam cahaya terang benderang karena penerjemahan al-Qurán. Itulah essensi makna Hari Kartini. Makna kesejatian manusia beriman (umat Islam) yang tercerahkan karena essensi cahaya al-Qurán.
*
Kepedulian Kartini pada orang lain, kehidupan sosial rakyat dan umat pada zamannya menunjukan memang manusia itu makhluk sosial yang harus berjiwa peduli sosial dan berjiwa filantrofi. Sikap demikian ini pula yang terkandung dalam makna terdalam “tradisi Mudik”. Ya, mudik bukan sekedar ritus budaya kosong makna. Mudik bukan sekedar bermakna unjuk kesuksesan hidup di perantauan kepada keluarga, saudara dan temannya di kampung.
Tetapi mudik bermakna spirit berbagi terhadap sesama, bukankah hadits nabi saw menyatakan “khairukum an’faukum linnasi“(orang terbaik diantaramu adalah yang paling bermanfaat bagi sesama). Itulah hikmah dibalik puasa satu bulan ramadan adalah melahirkan manusia yang mampu berbagi kepada sesama. Manusia yang mampu meruntuhkan mental egois (nafsu serakah). Puasa sejatinya adalah dilakukan setiap hari di luar bulan ramadan, kemampuan mengendalikan diri dari hawa nafsu keserakahan baik nafsu syahwat perut, seksual ataupun syahwat kekuasaan. Puasa menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa kehidupan material itu harus dikendalikan seperlunya saja. Karena hakikat hidup harus naik ke langit mentalitas jiwanya (sebagai makhluk langit) tetapi tetap bisa membumi dengan berbagi pada sesama.
Mudik adalah simbol kerinduan untuk kembali kepada akar mula diri. Bersilaturahim dan “sungkem”kepada orangtua khususnya ibu adalah sejatinya. Karena ridha Allah tergantung ridha orangtua–khususnya bunda tercinta. Mudik pula bermakna berbagi menebar rezeki kepada sesama–menghidupkan nilai ekonomi sekitar. Mudik pun bernilai kepedulian penuh kasih sayang kepada anak-anak dan saudara. Dengan mudik dan berbagi mengajarkan bahwa materi hanyalah kesementaraan dalam hidup. Sebab hidup hakikatnya mencari nilai semata. Semua materi akan ditinggalkan pada saatnya. Hidup hanyalah seperti perantauan saja. Karena itu kembali kepada Allah sejati harus menggembirakan karena kesiapan diri dengan bekal yang cukup.
Tentu hal ini bisa diraih kembali kepada sang maha suci, sang parading dumadi, Allah Dia yang awal dan akhir. Jika sebagai makhluk langit yang membumi ini–kita bisaa mensucikan diri. Karena yang maha suci hanya bisa didekati dengan kesucian diri. Apalagi penyatuan diri. Kembali kepada kesejatiaan inilah yang diajarkan selama sebulan puasa Ramadan. Ämpunan atas dosa-dosa membuat manusia jadi suci kembali. Ya kembali kepada sunatullah, keterbukaan dan kesucian diri (Fitrah). Bukankah itu yang diajarkan selama ramadan,“man shoma ramadana imanan wahtisaban ghufira lahu maa taqaddama min zhanbihi “(siapa yang puasa ramadan dengan dasar iman dan perhitungan (ilmu) niscaya diampuni dosa-dosa masa lalunya.
Kesucian diri dampak spirit ramadan hanya bisa diperoleh jika sudah mampu mengendalikan diri. Memupus karakter nafsu serakah (individualis), naik derajat hidup untuk memberi dan mengabdi pada Allah dengan wujud menghapus rasa lapar hambaNya, memberi pakaian menutupi aurat hambaNya, memberikan kegembiraan dan senyuman hamba-hambaNya.
Bagaikan ulat yang semula menjijikan mengandung racun bermetamorfosis mengubah karakter dirinya menjadi makhluk kupu-kupu yang indah dan bermanfaat bagi penyerbukan: memberikan kontribusi bagi kesuburan kehidupan.
Wallahuálam bishawab.
*penulis, pemerhati sosial budaya