KEMBALI BERBEDA: Hari Raya Idul Adha) 2023 Bersama dalam perbedaan, dibutuhkan kedewasaan sikap keberagamaan diantara sesama umat Muslim

  • Whatsapp

Setelah penentuan tanggal 1 Bulan Syawal 1444H lalu, dimana Ijtima (bulan mati) pukul 11.58. dengan ketinggian hilal pada Kamis 20 April 1 derajat 47 menit 58 detik WIB (Yogyakarta). usia hilal saat magrib sudah 6 jam. Saat itu pemerintah menentukan tanggal 1 Syawal pada Sabtu 22 April, alasannya ssat itu tidak bisa dilihat (dirukyat) karena sistem yang digunakan adalah pendekatan imkanurrukyat (mungkin dilihat).

Tanggal 1 Syawal 1444H (Sabtu 22 April 2023). Artinya penentuan definisi tanggal satu bulan Qomariyah (Islam) adalah kalau hilal (bulan sabit) bisa dilihat saat Magrib di peralihan tanggal 29 bulan sebelumnya. Ini mengingatkan kita bahwa tanggal awal bulan Islam adalah waktunya adalah malam hari (patokannya magrib/terbenam matahari).

Sementara Muhammadiyah yang menggunakan sistem penanggalan Hisab Hakiki, memiliki definisi tanggal 1 bulan Qomariah jika meyakini hakikat bulan baru sudah muncul di atas garis ufuk barat saat magrib saat hari peralihan tanggal 29 bulan sebelumnya, jika posisi hilal sudah di atas garis ufuk barat (meskipun sedikit): pokoknya di atas nol, maka itu sudah masuk peralihan tanggal menjaid tanggal bulan baru.

Maka Muhammadiyah meyakini tanggal 1 Syawal 1444H jatuh pada 21 April 2023 (Jum’at). Dengan demikian saat pagi hari merayakan shalat Idul Fitri (Jumat), bagi kalangan Muhammadiyah usia hilal sudah usianya 18 Jam atau 19 Jam kalau shalat Idul Fitri nya jam 07 Pagi Jumat. Kalau dikonversi kehitungan derajat Maka sudah berada di posisi 3 derajat (sudah tinggi). Kebetulan saat itu di Mekah, yang berbeda 4 jam setelah Indonesia.

Saat magrib, usia hilal di Mekah tentu sudah berusia 10 jam.,dan menyatakan Hari Raya Idul Fitri sama dengan Muhammadiyah di Indonesia yaitu hari Jumat 21 April.

Idul Adha 2023, berbeda pula

Hari ini, tanggal 29 Zulqo’dah 1444 H, tanggal 18 Juni 2023. Ijtima posisi sejajar (0) bulan pada pukul 11.39. Maka saat magrib, posisi bulan di ufuk barat sudah berada di atas garis ufuk barat (di atas 0 derajat). untuk Jogyakarta saja ketinggian hilal sudah 1 derajat 26 detik. Artinya usia bulan baru (hilal) menurut versi tafsir Muhammadiyah itu sudah masuk pergantian tanggal.

Sementara menurut versi departemen agama RI (Pemerintah) tanggal 1 harus bisa dilihat hilal (ijtihadnya harus di atas 3 derajat: kriteria kesepakata MABIMS). Tampaknya prediksi saya, saat sore ini hilal di Mekah akan berusia 10 jam (dari saat ijtima tadi siang jelang zuhur). Maka kemungkinan hilal di Mekah hari ini akan bisa dilihat. Insyaallah Hari Raya Idul Adha di Mekah pada hari Rabu, 28 Juni 2023, sama bareng dengan kalangan Muhammadiyah di Indonesia. Dan Departemen Agama (Pemerintah) dari hasil sidang isbat menyatakan tanggal 1 Zulhijjah pada Selasa, 20 Juni 2023; artinya tanggal 10 Zulhijjah 1444H nya pada Kamis, 29 Juni 2023.

Persoalan Tafsir (Definisi Tanggal 1 Qomariah) yang berbeda.

Memperhatikan berkali-kali kejadian perbedaan penentuan tanggal 1 bulan Qomariah (Islam) di tanah air Indonesia. Sesungguhnya sudah lama, bukan tahun ini saja. Seingat penulis, tahun 1997 saja sudah terjadi perbedaan antara keyakinan kalangan Muhammadiyah dengan departemen agama RI ( pemerintah). Bahkan tahun-tahun sebelumnya pula.

Bahkan konon sejak awal berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan sudah menyatakan izin untuk melaksanakan hari raya lebih dulu dari Kanjeng Sultan Yogyakarta, yang menggunakan metode yang berbeda dalam menentukan tanggal 1 bulan Islam.

Perbedaan ini sebuah bahan refleksi bagi umat Islam. Dalam persoalan ibadah, ada ukuran-ukuran bersifat ijtihad (dalam menafsir), termasuk menafsir tanggal 1 bulan qomariah. Hematnya pandangan beda tafsir ini menurut pandangan pribadi penulis terkait  adanya hadits nabi saw,  dalam melihat  atau merukyat hilal, seperti di bawah ini:

صوموا لرؤيتهه وافطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملو عدة شعبان ثلاثين

“Berpuasalah kamu karena terlihat hilal dan berbukalah kamu (beridul fitri) karena terlihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh. (HR. Bukhari dan Muslim)”

Penjelasan hadits ini menyebutkan puasa Ramadhan harus ditentukan atas dasar rukyat yang dilaksanakan saat 29 Sya’ban. Ketika terlihat hilal pada saat melakukan rukyat, maka malam tersebut dan besok harinya adalah permulaan puasa Ramadhan, akan tetapi ketika hilal tidak dapat dilihat, maka jumlah hari dalam bulan Syakban disempurnakan menjadi 30 hari, dengan hal ini malam tersebut dan besok harinya merupakan hari ke 30 Sya’ban, awal bulan Ramadhan dimulai pada hari berikutnya.

اذا رايتم الهلال فصوموا وإذا رايتموه فأفطروا فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما
“Bila kamu melihat hilal, maka berpuasalah dan bila kamu melihat hilal maka berbukalah (beridul fitri). Nila tertutup awan atasmu, maka berpuasalah kamu tiga puluh hari. (HR. Muslim)”

Kenapa persoalan tafsir Hadits?

Menurut hemat penulis, dari ungkapan hadits Nabi Muhammad saw di atas. Sebagian kalangan Muslim memaknai hadits rukyat hilal tersebut sebagai kemutlakan sebagai penentuan tanggal 1 bulan Islam (Qomariah). Artinya kalau tidak terlihat maka mutlak tanggal dibulatkan menjadi 30 hari.
Yang memutlakan tafsir tanggal 1 dengan maknai tersebut di atas itu penfasiran secara tekstual atas hadits tsb harus dengan bisa dilihat.

Sementara sebagian lagi memaknai (menafsir) hadits tersebut bukan sebagai kemutlakan untuk harus bisa dilihat. Tetapi yang penting adalah meyakini bahwa posisi bulan sudah masuk bulan baru, yaitu saat magrib posisi bulan (hilal) sudah di atas ufuk barat. Artinya posisi bulan sudah di sebelah timur matahari.

Meskipun hanya 1 derajat, pokoknya sudah diatas 0 derajat, bagi kalangan ini bulan baru sudah muncul (hadir)..artinya sudah masuk tanggal 1.
Kalangan ini bisa dikatakan menganut Tafsir kontekstual dalam menafsir hadits rukyat tersebut di atas.

Kalau dilihat dari penggunaan metode rukyat, baik kalangan Muhammadiyah atau pun yang lainnya juga departemen agama (pemerintah) sama menggunakan rukyat menggunakan alat peneropong.
Juga sama menggunakan perhitungan (hisab), karena buktinya semua nya juga sudah memiliki perkiraan perhitungan dalam kalendernya. Semuanya pun merujuk dari kalangan kitab-kitab ulama muslim ahli astronomis sebelumnya serta data-data hisab astronomis dari almanak kontemporer (modern).

Lalu kenapa bisa berbeda? inilah dalam pandangan penulis sendiri, bermula dari tafsir atas hadits rukyat tersebut di atas. Nah, kalau persoalan tafsir tentu saja sudah bisa kita fahami punya nilai kerelatifan karena ada unsur ijtihad (subyektivitas) masing-masing penafsir bisa berbeda.

Oleh karena itu alangkah eloknya, kedewasaan dalam keberagamaan akan ditunjukan dari sejauhmana memahami persoalan perbedaan tafsir ini sebagai sebuah kerelatifan. Dimana ijtihad itu kalau benar bernilai dua sedangkan kalau keliru itu bernilai 1.

Maka perbedaan karena tafsir, jangan sampai dimutlakan langsung secara hitam putih, yang satu pasti benar yang satu pasti salah. Kalau tafsirnya dimutlakan maka akan berdampak pada penilaian benar-salah, benar-keliru, benar-sesat. Itu akan membahayakan.

Semoga perbedaan tafsir ini melahirkan kecerdasan berpikir dan kecerdasan bersikap. Semoga melahirkan secara utuh, yaitu kebaikan yang bernama thoyyib, kebaikan yang bermakna khair, sekaligus kebaikan yang bermakna ma’ruf (bijaksana), serta kebaikan bermakna ihsan (kebaikan karena mencari lillahi ta’ala). serta secara sempurna menjadi kebaikan utuh yang disebut amal shaleh.

Jika dalam perbedaan penafsiran ini tidak melahirkan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan; malah menimbulkan kemadaratan keburukan pertengkaran karena perbedaan, Maka itulah perbedaan bukan menjadi rahmat (kasihsayang) tetapi perbedaan menjadi keburukan (laknat).
Disinilah kita umat muslim diuji supaya bisa bersikap dewasa dan matang dalam menjalankan ibadah dan keberaagamaan.

* Selamat memasuki bulan Zulhijjah. Selamat menyambut bulan Agung (Rayagung), hari raya Agung: Idul Adha 1444H. Semoga spirit Qurban (mencintai Allah swt) semata-mata secara tulus ikhlas, dan berani mengorbankan kecintaan kepada selain Allah: baik harta, jabatan, materi, ilmu dll supaya berfokus justru pada cinta berqorban untuk ketaatan kepada Allah. Sehingga kita menjadi insan yang mukhlis (ikhlas lillahi ta’ala).

Wallahi’alam bishawab. Hanya Allah lah yang maha mengetahui segala kebenaran dan kebaikan makhluk-makhluknya.

Pos terkait